Perawatan ortodontik umumnya dikenal sebagai proses memperbaiki susunan gigi yang tidak rata menggunakan kawat gigi (braces). Namun, dalam kasus tertentu di mana kelainan posisi rahang ikut berperan, diperlukan pendekatan yang lebih kompleks. Diantaranya bedah ortodontik atau yang dikenal sebagai ortognatik surgery. Prosedur ini menggabungkan perawatan ortodontik dengan pembedahan rahang untuk mencapai keseimbangan fungsi dan estetika wajah secara optimal.
Bedah ortodontik biasanya dianjurkan bagi pasien dengan maloklusi kelas III. Juga pada kasus ketidaksesuaian rahang yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan perawatan ortodontik konvensional. Prosedur ini melibatkan kolaborasi antara ortodontis dan ahli bedah mulut, dimulai dengan perawatan kawat gigi untuk merapikan susunan gigi. Kemudian dilanjutkan dengan pembedahan rahang, dan diakhiri dengan tahap penyesuaian akhir posisi gigi.
Menariknya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa FKG UGM, Raihana Hikmawati Hibatulloh dengan bimbingan Dr. drg. Cendrawasih AD, M.Kes., Sp.Ort(K) and Dr. drg. Sri Suparwitri, SU., Sp.Ort (K), dijelaskan bahwa sebagian besar pasien ortodontik mengalami maloklusi kelas I dan kelas II. Namun terdapat pula sejumlah kasus kelas III yang bisa menjadi kandidat bedah ortodontik. Jumlah pasien ortodonti perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Jenis maloklusi Angle Kelas I menjadi yang paling dominan pada kedua jenis kelamin. Sementara itu jenis perawatan ortodonti cekat menjadi yang paling sering digunakan.
Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun kasus maloklusi kelas I mendominasi, keberadaan kasus maloklusi kelas III yang lebih kompleks tetap memerlukan perhatian khusus, terutama dalam penentuan pilihan perawatan. Bedah ortodontik bukan hanya menjadi solusi fungsional, tetapi juga memberikan dampak psikologis dan sosial yang besar bagi pasien, karena hasil akhirnya dapat memperbaiki bentuk wajah dan meningkatkan rasa percaya diri.
Pasien yang menjalani prosedur ini harus menjalani evaluasi menyeluruh, termasuk pencitraan radiografis 3D, model studi, dan analisis wajah. Selain itu, pendekatan yang bersifat interdisipliner menjadi kunci keberhasilan, mengingat kompleksitas kasus yang ditangani. Proses ini bisa memakan waktu 18 hingga 24 bulan, termasuk fase pra dan pasca operasi.
Dengan semakin berkembangnya teknologi pencitraan dan teknik bedah minimal invasif, prosedur bedah ortodontik kini menjadi lebih aman dan hasilnya pun lebih presisi. Di masa mendatang, prosedur ini berpotensi menjadi standar perawatan bagi pasien dengan kelainan tulang wajah yang signifikan.
Melalui kolaborasi antara riset klinis dan praktik pelayanan, pendekatan terhadap kasus ortodontik dapat terus berkembang, memperluas pilihan terapi yang tidak hanya fokus pada perataan gigi, tetapi juga menyeluruh terhadap struktur wajah dan fungsinya.
References
Raihana Hikmawati Hibatulloh, Dr. drg. Cendrawasih AD, M.Kes., Sp.Ort(K); Dr. drg. Sri Suparwitri, SU., Sp.Ort (K), Perbandingan Distribusi Frekuensi Pasien Ortodonti Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Jenis Maloklusi Angle dan Jenis Perawatan Ortodonti (Kajian pada RSGM UGM Prof. Soedomo Yogyakarta Tahun 2019, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/225029
Author: Rizky B. Hendrawan | Photo: Freepik