Di sebuah pagi yang hangat di Yogyakarta, ruang meeting Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada dipenuhi percakapan pelan, senyum saling menyapa, dan aroma kopi yang baru saja diseduh. Para profesor lintas disiplin dari University of Groningen, Belanda—sebagian baru pertama kali menapakkan kaki di UGM, sebagian lagi seperti pulang ke rumah kedua—berkumpul untuk satu tujuan: merayakan sekaligus membuka lembaran baru kemitraan akademik yang sudah berlangsung lebih dari 25 tahun.
Di meja bundar besar yang disusun khusus untuk pertemuan itu, duduk nama-nama besar dunia akademik: Prof. Dan Westerbrink, ahli ekonomi moneter, Dr. Navika Purnamasari, kardiolog, Dr. Morich Kaido Dekarli, pakar teknik biomedis dan bioprinting, Prof. M.G. Posma, ekonom kesehatan global, serta Prof. Jacqueline, Rector dari University of Groningen.
Mereka disambut jajaran pimpinan FKG UGM—Prof. Suyono, selaku dekan; para wakil dekan; ketua departemen; para peneliti senior; serta alumni Groningen yang kini menjadi tulang punggung kepemimpinan dan riset di FKG UGM.
Pertemuan itu terasa seperti reuni keluarga besar ilmuwan yang telah tumbuh bersama.
Bahasa Indonesia di UNESCO, dan Sapaan yang Menghangatkan Ruang
“Bahasa Indonesia kini menjadi bahasa internasional di UNESCO,” ujar Prof. Suyono dalam sambutan yang disampaikan bergantian dalam dua bahasa. Ruangan tersenyum, sebagian bangga, sebagian terharu.
Ada jeda sejenak ketika ia mengucapkan selamat datang kepada para profesor tamu dari Belanda—jedanya bukan karena ragu, melainkan karena kesadaran penuh bahwa pagi itu adalah momentum penting: membangun kembali arah kolaborasi riset di era baru.
Dari Pionir ke Generasi Baru
Hubungan UGM dan Groningen dimulai sejak awal 2000-an. Kala itu, beberapa dosen muda UGM berangkat menempuh pendidikan S3 di negeri kincir angin. Dua dekade kemudian, anak-anak akademik Groningen itu telah kembali sebagai profesor, kepala departemen, dan pemimpin strategis FKG UGM.
Mereka duduk berdampingan dengan mentor-mentor dari Belanda yang dulu membimbing mereka menulis disertasi. Sebuah lingkaran kolaborasi yang kini berpindah tangan ke generasi penerus.
“Kami melihat wajah-wajah lama yang sehat—dan wajah baru yang lebih bersemangat,” canda salah satu delegasi Groningen, merujuk pada regenerasi peneliti di UMCG.
Di 2026, FKG UGM Mengusung Spirit Baru: Socio-Entrepreneurial Dentistry
Di depan layar presentasi, Prof. Suyono memaparkan perubahan besar: mulai 2026, FKG UGM memantapkan diri sebagai fakultas berorientasi socio entrepreneurship.
Peneliti didorong tidak hanya menghasilkan jurnal, tetapi juga mengolah temuan menjadi produk nyata.
Groningen mendengar dengan penuh minat.
Di layar, muncul sederet inovasi berbasis kekayaan alam Indonesia: Bone graft dari bahan alami. Pasta gigi herbal. Bahan biomaterial yang siap masuk hilirisasi.
Indonesia kaya akan sumber daya alam, dan UGM ingin memanfaatkannya bukan hanya untuk publikasi—tetapi membawa dampak nyata pada kesehatan masyarakat.
“Ini peluang emas kolaborasi,” ujar Prof. Jacqueline. “Groningen siap menyokong dengan teknologi dan jaringan riset global.”
25 Tahun Kolaborasi: Sebuah Jembatan yang Telah Matang, Kini Siap Diperlebar
Ketika pertemuan mendekati penghujung, ruangan terasa hangat. Bukan hanya oleh udara tropis Yogyakarta, tapi oleh rasa persahabatan akademik yang tulus.
Para profesor saling mengucap terima kasih, berjanji berjumpa lagi dalam sesi matchmaking research, dan sepakat bahwa sejarah panjang ini belum akan berakhir. Justru, kolaborasi memasuki babak baru: lebih interdisipliner, lebih konkret, dan lebih relevan bagi kesehatan global. Di luar ruangan, matahari Yogyakarta mulai meninggi. Seperti menegaskan optimisme pagi itu bahwa ilmu, ketika ditenun bersama, selalu menemukan bentuk terbaiknya.
(Andri Wicaksono, Foto: Fajar Bud Harsakti)