News

/

Latest News

Menjadi Dokter Gigi Terkini: Etika, Disiplin, & Hukum Berjalan Seiring Sejalan

PEMBEKALAN DOKTER GIGI BARU

Yogyakarta, 5 Desember 2025 – Pada sebuah ruang kuliah di FKG UGM, suasana pagi itu terasa berbeda. Para mahasiswa profesi duduk lebih rapat, sebagian menyiapkan catatan di pangkuan, dan beberapa lainnya menyalakan perekam suara. Semua tahu, sesi Expert Lecture hari itu bukan sekadar agenda rutin—melainkan kesempatan untuk memahami realitas yang akan menyambut mereka sesaat setelah kelulusan: dunia praktik kedokteran yang semakin kompleks, serba cepat, dan diatur oleh regulasi yang terus berubah.

Sang pembicara drg. Muhammad Fahmi Alfian, MPH, seorang akademisi FKG UGM yang juga praktisi hukum kesehatan, membuka sesi dengan kalimat yang membuat banyak peserta mengangguk:
“Di Indonesia, aturannya banyak sekali yang berubah. Saya sendiri kewalahan mengikutinya.”
Ungkapan itu terdengar ringan, tetapi sesungguhnya menggambarkan tantangan utama tenaga kesehatan masa kini: memahami lanskap hukum yang terus bergerak.

Hukum Sebagai Pelindung, Bukan Ancaman

Dalam paparannya, ia menekankan bahwa hukum tidak hadir untuk menakut-nakuti. “Tenaga kesehatan justru mendapatkan perlindungan dari hukum,” ujarnya sambil menegaskan bahwa setiap kewajiban yang diatur undang-undang selalu berpasangan dengan hak profesional yang melekat pada tenaga medis maupun tenaga kesehatan.

Untuk menjembatani pemahaman mahasiswa, ia mengulas asas-asas hukum secara   sederhana dan relevan:
lex specialis, lex superior, lex posterior.

Kata-kata Latin itu mungkin terdengar berat, tetapi contoh yang ia berikan sangat dekat dengan realitas calon dokter gigi: aturan upah tenaga kesehatan yang tidak otomatis mengikuti UMR, atau kewenangan klinis yang tidak bisa diputuskan sepihak oleh institusi tanpa landasan hukum.

Omnibus Health Law dan “Gelombang Besar” Regulasi Baru

Bagian yang paling menyita perhatian adalah ketika ia membahas Undang-Undang Kesehatan terbaru yang lahir dalam konsep omnibus. Dengan lebih dari seribu pasal dan berbagai turunan aturan yang masih terus dikebut pemerintah, undang-undang ini menjadi salah satu regulasi paling dinamis dalam sektor kesehatan Indonesia.

Ia menjelaskan bagaimana perubahan tersebut memengaruhi tata kelola pelayanan kesehatan, mulai dari kewenangan profesi, standar pendidikan, hingga mekanisme perizinan. Tidak mengherankan jika banyak pihak kemudian mengajukan uji materi sebuah tanda bahwa masyarakat sangat peduli pada arah perubahan layanan kesehatan di Tanah Air.

Majelis Disiplin Profesi: Gerbang Baru dalam Penanganan Kasus

Salah satu poin yang paling menonjol adalah pembahasan mengenai Majelis Disiplin Profesi (MDP). “Sekarang, tidak bisa langsung pidana. Harus melalui majelis dulu,” katanya. Penjelasan itu memantik perhatian mahasiswa yang menyadari bahwa kesalahan profesional tidak lagi sederhana.

MDP kini menjadi garda awal yang menentukan apakah suatu dugaan pelanggaran termasuk ranah disiplin, etik, administratif, atau pidana. Dalam waktu 14 hari, majelis wajib memberi putusan dan rekomendasi. Inilah mekanisme baru yang mengubah cara negara memandang praktik kedokteran: profesional, berbasis keilmuan, dan tidak semata-mata mengedepankan pendekatan hukum pidana.

Ia kemudian menguraikan 17 bentuk pelanggaran disiplin yang sering terjadi—mulai dari praktik di luar kompetensi, tindakan tanpa informed consent memadai, pengabaian standar, hingga kegagalan merujuk pasien.
Pesan moralnya jelas: dalam dunia praktik, kelalaian kecil dapat membawa konsekuensi panjang.

Kesiapan Moral dan Profesional: Identitas yang Melekat Seumur Hidup

Menjelang akhir sesi, nuansa kelas berubah lebih reflektif. Sang pemateri menatap para mahasiswa sambil berkata, “Begitu kalian disumpah, identitas sebagai dokter gigi itu melekat terus. Di mana pun, kapan pun.”

Kalimat itu menggambarkan esensi profesi kedokteran gigi: tidak hanya soal kemampuan melakukan tindakan klinis, tetapi juga tentang kedewasaan moral, tanggung jawab sosial, dan kesediaan untuk belajar seumur hidup. Di luar ruang praktik sekalipun, tenaga kesehatan tetap membawa kompetensinya sebagai bagian dari jati dirinya.

Para mahasiswa mengakhiri sesi dengan catatan penuh, tetapi lebih dari itu dengan kesadaran baru bahwa mereka sedang memasuki era kedokteran yang menuntut kecakapan multidimensi: kompeten secara klinis, teguh secara etik, dan tanggap secara hukum.

Sebuah tantangan besar, tetapi juga sebuah kehormatan.

(Reporter: Andri Wicaksono, Ilustrasi: iStcok &Sozo Dental)

Tags

Share News

Related News
9 December 2025

Perawatan Resesi Gingiva Dengan Teknik Minimal Invasif

9 December 2025

FKG UGM dan RSUD Temanggung Perkuat Kolaborasi Penugasan Spesialis BMM & Wahana Pendidikan Residen

9 December 2025

Tim PKM-KC FKG UGM Raih Emas & Perunggu di PIMNAS 2025

en_US