Setelah sempat menjadi pusat rujukan yang aktif melayani karyawan dan warga sejak tahun 1991, Balai Kesehatan PT Pagilaran akhirnya terpaksa menjalani hari-hari penuh keterbatasan pada tahun berikutnya. Momentum kembalinya fungsi balai tersebut kini diupayakan serius melalui Kerjasama antara Prodi S3 Ilmu Kedokteran Gigi FKG UGM dan instansi daerah guna membuka harapan baru untuk masyarakat sekitar dapat akses kesehatan yang layak.
Upaya menghidupkan kembali layanan kesehatan ini diadakan dalam sebuah pertemuan yang melibatkan FKG UGM, PT Pagilaran, Puskemas Blado 1, Dinas Kesehatan Kabupaten Batang, dan KAKGIGAMA (Keluarga Alumni Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada). Pertemuan ini dipimpin oleh Prof. drg. Widowati Siswomiharjo Ph.D. selaku ketua Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Gigi FKG UGM. Pada pertemuan ini dibahas rencana guna mencari jalan keluar agar fasilitas kesehatan yang lama vakum ini bisa beroperasi kembali digunakan masyarakat.
Balai Kesehatan PT Pagilaran memiliki peran penting sebagai tempat rujukan utama bagi masyarakat sekitar. Pak Sunardi selaku perwakilan dari perusahaan mengatakan saat masa keemasan, Balai ini sempat menjadi rujukan utama bahkan punya layanan rawat inap. Balai tersebut sangat membantu karyawan dan warga sekitar didukung perawat dan kader yang rutin bertugas. Sayangnya kondisi ini berubah drastis setelah tahun 1992 saat para pengurus keluar dan tidak ada tenaga medis tetap.
Sejak saat itu pelayanan kesehatan di balai terpaksa sangat dibatasi. Kunjungan dokter hanya bisa dilakukan sebulan sekali dan perawat dua kali sebulan. Kondisi ini menjadi lebih parah saat terjadi pandemi COVID-19 yang membuat balai berhenti total. Pak Sunardi berharap agar layanan bisa aktif lagi. “Jika pelayanan kesehatan ini bisa diaktifkan kembali maka para warga akan sangat senang dan terbantu” katanya.

Saat membuka diskusi Prof. Widowati menekankan bahwa balai kesehtan ini merupakan aset yang perlu diaktifkan kembali. Hal tersebu ditanggapi oleh Ibu Mei selaku perwakilan dari Dinkes Kabupaten Batang yang menjelaskan bahwa balai ini telah memenuhi syarat sarana dan prasarana untuk diaktifkan kembali, namun terdapat kendala di sumber daya manusia. “Minimal terdapat 2 dokter dan 1 apoteker jika ingin dibentuk menjadi klinik,” ucap Mei.
Melihat kendala SDM tersebut, drg. Hermawan mewaliki KAKGIGAMA mengusulkan pilihan lain yang lebih ringan dan didukung pemerintah daerah yaitu balai Kesehatan dibentuk menjadi Pos Kesehatan Desa (PKD). Lebih lanjut ia menjelaskan skema PKD dianggap paling mungkin karena bangunan tetap milik PT Pagilaran, sedangkan penyediaan SDM seperti dokter, perawat, dan bidan serta obat-obatan dapat dibantu oleh Puskesmas Blado 1 dan Dinkes setempat.
Puskesmas Blado 1 menyambut baik usulan PKD ini dan siap memberi dukungan SDM. Pihaknya menekankan agar kader kesehatan yang telah ada lingkungan masyarakat diberi pelatihan Integrasi Layanan Primer (ILP).
Pada akhir pertemuan, Prof. Bundi menekankan Kembali bahwa Pos Kesehatan Desa (PKD) adalah hal yang paling bisa diwujudkan. Komitmen FKG UGM untuk memulai layanan sudah terlihat sebab FKG UGM telah melatih 25 kader kesehatan desa tentang deteksi penyakit gigi dan mulut serta memberikan sumbangan berupa dental unit dari Kerjasama dengan PT Cobra Dental.
Author and Photographer: Fajar Budi Harsakti