Banyak penelitian bagus di Indonesia, tapi sebagian besar hanya berhenti dipublikasi—jarang sekali diformulasikan menjadi sebuah produk agar bisa digunakan oleh masyarakat luas. Kondisi ini makin menggelisahkan karena jumlah penelitian yang didanai pemerintah setiap tahun cukup besar. Contohnya di tahun 2024, Kemendikbudristek mendanai 11.980 proposal penelitian dan 2.651 proposal pengabdian kepada masyarakat, total 14.631 proposal.
Tapi jumlah penelitian dan publikasi yang tinggi itu belum menjamin hasilnya dapat memberi manfaat langsung ke masyarakat atau menjadi produk nyata yang bisa digunakan, seperti alat kesehatan, obat, atau inovasi produk. Banyak sekali penelitian masih terjebak dalam jurnal, laporan akademik, paten tanpa produksi massal, atau hanya menjadi sekedar tumpukan dokumen.
Inilah yang disebut hilirisasi—proses membawa hasil penelitian agar bisa diproduksi, dipasarkan, dan digunakan oleh masyarakat luas. Konsep ini menjadi kunci agar penelitian tidak sekadar berhenti di meja akademisi, tetapi bisa benar-benar menjawab kebutuhan masyrakat.
Propagel muncul sebagai jawaban berkat usaha dari Prof. drg. Suryono, S.H., M.M., Ph.D dan tim melalui hibah PRIME SteP 2025 untuk menjembatani penelitian menjadi produk berbasis propolis untuk kesehatan gigi dan mulut. Propagel adalah gel yang dikembangkan dari propolis. Dalam ilmu kesehatan, propolis dikenal memiliki beragam manfaat, mulai dari antibakteri, antijamur, hingga mempercepat penyembuhan luka. “Produk ini dikemas dalam bentuk gel sehingga mudah digunakan, baik oleh masyarakat umum maupun praktisi kesehatan gigi” ucap Prof. Suryono (1/10).
Sebagian besar produk sejenis biasanya hanya berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka, sedangkan Propagel memiliki khasiat ganda. Kandungan propolis di dalamnya bekerja sebagai antibakteri alami sekaligus membantu penyembuhan luka. Dengan kata lain, gel ini tidak hanya mempercepat regenerasi jaringan, tetapi juga mencegah infeksi.

Propagel dirancang untuk bisa dipakai oleh siapa saja. Bagi masyarakat umum, gel ini cukup dioleskan pada bagian sela-sela gigi atau gusi yang bermasalah, misalnya terasa nyeri atau mudah berdarah. Sementara itu, bagi dokter gigi, Propagel sangat bermanfaat setelah tindakan pembersihan karang gigi. Gel ini dapat dimasukkan ke dalam kantong gusi untuk mempercepat proses penyembuhan sekaligus mencegah peradangan.
Untuk tahap awal, Prof. Suryono bersama tim menyiapkan 1.700 prototipe Propagel yang siap uji pasar. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana memasarkan produk hasil penelitian agar bisa diterima masyarakat luas?
Suryono dan tim menggandeng perusahaan pemasaran digital GeTI dan Export Hub. Melalui kemitraan ini, pemasaran Propagel akan diuji lewat platform media sosial TikTok, Instagram, dan Facebook. Menurutnya, keuntungan memasarkan secara online dapat mengetahui analisis pasar mulai dari usia pengguna hingga wilayah yang paling membutuhkan. “Targetnya, Propagel tidak hanya dipakai masyarakat Indonesia, tapi juga bisa masuk ke pasar global” harapnya.
Otokritik terhadap Ekosistem Penelitian
Meski optimis dengan langkah Propagel, Prof. Suryono tetap memberi catatan kritis terhadap ekosistem penelitian di Indonesia. Menurutnya, banyak penelitian gagal dihilirisasi karena sejak awal tidak ada keterlibatan industri. Formula yang dihasilkan di laboratorium sering kali berbeda dengan formula yang siap diproduksi massal, sehingga ketika masuk ke tahap produksi, banyak penelitian berhenti di tengah jalan.
“Kalau dari awal tidak kolaborasi dengan industri, produk hasil penelitian sulit untuk bisa dipasarkan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kebijakan penilaian kinerja akademisi yang masih lebih menghargai publikasi di jurnal internasional (Q1, Q2) dibandingkan hilirisasi. Padahal suatu penelitian untuk bisa dipublikasi memerlukan biayanya yan tidak sedikir, dan justru sering kali data penelitian dimanfaatkan negara lain untuk komersialisasi.
“Yang kerja keras (meneliti) kamu, namun orang lain yang dapat keuntungan lebih besar. Itu pintar atau bodoh?” katanya retoris.
Bagi Prof. Suryono, publikasi penting untuk reputasi institusi, tapi bukan tujuan akhir. Hal yang lebih utama adalah menghasilkan penelitian yang benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat. “Reputasi kampus perlu diperjuangkan, tapi bukan yang utama. Tujuan akhirnya bagaimana keberadaan kampus dapat berdampak bagi kemandirian bangsa salahs satunya melalui hasil penelitian,” pungkasnya.
Reporter: Andri Wicaksono, Penulis dan Foto: Fajar Budi Harsakti