PEMBEKALAN DOKTER GIGI BARU
Yogyakarta, 5 Desember 2025 – Di tengah euforia kelulusan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM, sebuah kisah nyata dibagikan, bukan tentang gemerlap klinik ibu kota, melainkan tentang pengabdian tulus di daerah terpencil. Dialah dr. Siswanto, seorang dokter gigi yang kini menjelang masa purnabakti, membagikan perjalanan hidupnya yang membuktikan bahwa makna profesionalisme sering kali ditemukan di tempat yang paling membutuhkan.
Cerita dimulai tak lama setelah dr. Siswanto menyelesaikan pendidikan S1 di FKG UGM. Berbekal semangat masa muda, ia menjalani masa PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Kalimantan Tengah, sebuah keputusan yang mengubah jalan hidupnya secara drastis.
“Awalnya saya berpikir di daerah itu sama seperti di Jawa. Rupanya saya ditempatkan di salah satu kabupaten namanya Barito Utara,” kenang dr. Siswanto di hadapan para sejawat muda.
Penempatan tugasnya bukan di kota kabupaten, melainkan di Puskesmas Muaraung. Perjalanan menuju lokasi membutuhkan waktu tiga jam menggunakan speed boat menembus belantara hutan. Tempat itu adalah puskesmas rawat inap, sebuah fasilitas vital yang melayani beberapa kecamatan karena jarak ke rumah sakit utama yang sangat jauh.
Tantangan pertama langsung menghadang: di puskesmas tersebut, tidak ada dokter umum.
Dari Kursi Gigi ke Manajemen Medis
Situasi ini memaksa dr. Siswanto untuk segera beradaptasi. Ia menyadari bahwa gelar dokter gigi tidak bisa menjadi benteng yang membatasi pengetahuannya hanya pada area gigi dan mulut. “Kita tidak lepas dari ruang lingkup medis,” ujarnya.
Mau tak mau, ia harus memperdalam ilmu medis secara keseluruhan, dari anatomi hingga faal tubuh sistemik. Selain itu, ia juga dituntut belajar manajemen kesehatan di lapangan, berkoordinasi dengan perawat senior yang sudah lebih dulu mengabdi di sana.
“Kadang-kadang kita ini membentengi diri sendiri: ‘Sudah, saya dokter gigi, saya belajar tentang gigi saja’. Untuk masuki dunia kerja tidak bisa seperti itu,” tegasnya.

Kenyamanan yang Mengikat di ‘Daerah Tertinggal’
Di tengah rekan-rekan sejawatnya yang kebanyakan memilih pindah kembali ke Jawa setelah masa tugas usai, dr. Siswanto mengambil keputusan berbeda: ia bertahan. Kini, ia sudah puluhan tahun mengabdi di Rumah Sakit Sultan Immanuddin di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Ia menemukan kenyamanan dalam lingkungan kerja yang suportif dan, yang terpenting, merasakan kehadiran profesinya “lebih bermakna” di daerah tersebut. Peluang untuk berkembang di daerah justru sangat besar.
Buktinya, rumah sakit tempatnya bekerja kini memiliki fasilitas yang lengkap dengan berbagai dokter spesialis, termasuk dua dokter gigi umum, ortodontis, bedah mulut, konservasi, prostodonsi, dan periuk. Tiga di antaranya adalah putra daerah asli. Kelengkapan ini bahkan mungkin melebihi beberapa rumah sakit daerah di Pulau Jawa.
Pesan untuk Sejawat Muda: Terus Belajar dan Eksis
Menyapa para peserta audiensi sebagai “teman-teman sejawat”, dr. Siswanto menekankan bahwa perjuangan setelah lulus tidak berhenti. Fase ISIP (Internsip) selama enam bulan—tiga bulan di puskesmas dan tiga bulan di rumah sakit—adalah jembatan menuju karier yang sesungguhnya.
“Kami di poli gigi juga senang membimbing adik-adik ISIP ini,” ujarnya, menekankan pentingnya regenerasi dan bimbingan senior-junior.
Kisah dr. Siswanto adalah pengingat kuat bahwa profesionalisme tidak hanya diukur dari fasilitas canggih, tetapi dari kemauan untuk terus belajar, beradaptasi, dan yang paling mulia, memberikan kontribusi nyata di mana pun kaki berpijak.
“Kita harus muncul, kita harus tampil, kita harus eksis. Jangan sampai kita dipandang di kelas level bawah di dunia medis,” tutupnya penuh semangat.
(Reporter: Andri Wicaksono, Foto: Fajar Budi Harsakti)