Kesehatan gigi dan mulut masih sering dianggap bukan hal yang mendesak. Banyak orang baru memeriksakan diri ke dokter gigi saat rasa sakit sudah tak tertahankan, dan tak jarang disertai penyesalan karena telah menunda perawatan. Sebagian menyesal karena jarang memeriksa kesehatan gigi, sebagian lain kecewa karena terlalu percaya pada klaim produk yang ternyata tidak sesuai harapan.
Namun bagi para ahli di bidang kedokteran gigi, khususnya periodontologi, masalah pada jaringan penyangga gigi bukanlah perkara sepele. Kondisi tersebut dapat menjadi indikator gangguan sistemik yang lebih serius, termasuk memperburuk penyakit kronis seperti diabetes.
Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Medisin Periodontal, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio., Subsp.RPID(K), FISID, menyerukan pentingnya kolaborasi lintas disiplin untuk menghadapi kompleksitas periodontitis diabetika. Acara pengukuhan dilangsungkan pada Selasa, 24 Juni 2025 di Balai Senat Gedung Pusat UGM.
“Masalah gigi dan mulut bukan urusan pinggiran. Ia bisa menjadi pintu masuk ke berbagai penyakit sistemik,” tegas Prof. Ahmad Syaify dalam pidato berjudul Periodontitis Diabetika: Kompleksitas Penyakit dan Tantangan Multidisipliner.
Ia menyoroti bahwa periodontitis — yang kerap ditandai gusi berdarah dan gigi goyang — bukan sekadar masalah lokal. Dalam konteks pasien diabetes, radang gusi yang kronis dapat memperburuk kontrol gula darah dan meningkatkan risiko komplikasi serius, termasuk penyakit kardiovaskular. Sebaliknya, diabetes juga mempercepat kerusakan jaringan periodontal.
Prof. Ahmad mengingatkan bahwa kolaborasi antara dokter gigi, dokter penyakit dalam, ahli gizi, hingga psikolog adalah keniscayaan. “Tubuh manusia tidak punya departemen. Semua terhubung. Maka, gusi dan glukosa, plak dan pankreas, harus dilihat dalam satu sistem yang utuh,” ujarnya.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi periodontitis di Indonesia mencapai 74,1% pada populasi di atas 15 tahun. Di sisi lain, Indonesia juga masuk lima besar negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia. Kombinasi ini, menurut Prof. Ahmad, adalah “bom waktu” bagi sistem kesehatan.
Selama lebih dari dua dekade berkiprah di bidang periodonsia, Prof. Ahmad banyak meneliti keterkaitan periodontitis dan diabetes, termasuk dampak peradangan terhadap resistensi insulin. Ia juga mengembangkan pendekatan terapi inovatif, seperti penggunaan bahan alam (kecombrang) dan integrasi teknologi seperti artificial intelligence and telemedicine.
Prof. Ahmad menyampaikan harapan agar dokter gigi tidak lagi hanya dilihat sebagai “penambal gigi”, melainkan sebagai mitra penting dalam sistem kesehatan masyarakat. “Kalau periodontitis dan diabetes bisa bersinergi dalam menyebabkan kerusakan, maka kita—akademisi dan praktisi kesehatan—juga harus bersinergi untuk menyelamatkan pasien,” tutupnya.
Penulis: Fajar Budi Harsakti
Fotografer: Dody Hendro W.