Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Setiaji, S.T., M.Si., menegaskan bahwa Indonesia harus membangun kedaulatan data kesehatan sebagai fondasi menuju sistem layanan kesehatan yang prediktif dan presisi pada 2045. Hal itu ia sampaikan saat memberikan keynote speech dalam Seminar Nasional “Mendesain Kedaulatan Kesehatan Indonesia 2045: Peran Strategis Kampus dalam Tata Kelola Kesehatan Masa Depan” yang digelar di Balai Senat UGM, Kamis (27/11/2025).
Menurut Setiaji, mewujudkan kedaulatan kesehatan Indonesia 2045 membutuhkan perubahan besar dari sistem berbasis pengobatan ketika sakit (kuratif) menuju sistem kesehatan yang berorientasi pencegahan (preventif) yang proaktif, dan berbasis data. Dengan pendekatan tersebut, negara tidak hanya mengobati orang yang sudah sakit, tetapi menjaga masyarakat tetap sehat melalui pemantauan dini dan pengambilan keputusan berbasis informasi.
Kedaulatan data menjadi syarat utama agar sistem kesehatan Indonesia tidak bergantung pada teknologi luar, tetapi mampu mengembangkan ekosistem kesehatan yang mandiri dan terintegrasi.
Pilar Kedaulatan Kesehatan Digital
Ia menjelaskan tiga pilar utama kedaulatan kesehatan digital, yaitu kedaulatan SDM, kedaulatan data, dan kedaulatan teknologi. Pilar kedaulatan SDM menekankan pada kemampuan bangsa untuk mencetak, melatih, dan mempertahankan talenta digital yang mampu merancang dan mengaudit sistem kesehatan nasional. “Kita tidak cukup hanya menjadi pengguna teknologi, tapi harus menjadi pengembang dan pengendali,” ujarnya.
Pilar kedua adalah kedaulatan data, yang mengharuskan data kesehatan rakyat Indonesia berada dan dikelola di wilayah hukum Indonesia. Data tersebut menjadi aset strategis yang akan menentukan arah kebijakan kesehatan, efisiensi anggaran, hingga pengembangan layanan berbasis presisi.
Adapun pilar ketiga adalah kedaulatan teknologi, yaitu kemandirian Indonesia dalam membangun, menggunakan, dan mengendalikan teknologi Kesehatan. “Jika teknologi inti tetap bergantung pada pihak luar, kedaulatan kesehatan tidak akan tercapai,” lanjutnya.

Dalam hal mewujudkan visi di tahun 2045, Setiaji menegaskan bahwa teknologi prediktif dan kedokteran presisi akan menjadi motor utama. Melalui integrasi Big Data dari SATUSEHAT, Artificial Intelegence (AI) dapat memprediksi risiko penyakit di tingkat populasi dan individu. Kedokteran presisi dapat dijalankan bila data kesehatan seseorang dikumpulkan secara lengkap dan terus-menerus, mulai dari informasi genetik (DNA), penanda biologis tubuh, kebiasaan hidup sehari-hari, hingga riwayat penyakit dan pengobatan yang tersimpan dalam rekam medis elektronik.
Menurutnya, SATUSEHAT adalah infrastruktur kritis nasional yang menyatukan ekosistem data kesehatan di Indonesia. SATUSEHAT berjalan berdasarkan satu standar, satu data, dan satu nusa sebagai simbol persatuan digital dari Sabang sampai Merauke.
Setiaji juga memaparkan bagaimana AI akan memainkan peran di tiga level. Pada level makro, AI membantu pemerintah merancang kebijakan publik berbasis risiko melalui prediksi kebutuhan tenaga spesialis dan alokasi anggaran. Pada level menengah, AI mendukung pemantauan kesehatan masyarakat untuk mendeteksi potensi wabah lebih cepat dibanding pelaporan manual. Sedangkan pada level mikro, AI menjadi asisten klinis bagi dokter di lapangan, terutama di daerah minim spesialis melalui tele-radiology and tele-ophthalmology.
Challenges
Namun, ia menyadari bahwa perjalanan menuju sistem kesehatan prediktif dan presisi tidak tanpa tantangan. Salah satunya adalah kesenjangan digital, terutama di daerah terpencil yang masih mengalami blank spot internet. Kondisi ini menghambat pengiriman data real-time berbasis Fast Healthcare Interoperability Resources (FHIR) ke SATUSEHAT. FHIR merupakan sebuah standar global untuk pertukaran data kesehatan yang efisien. “Saat ini Kemenkes telah berkolaborasi dengan Komdigi untuk menyediakan akses satelit di fasilitas kesehatan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar),” tambah Setiaji.
Tantangan lainnya adalah kesiapan sumber daya manusia. Peran Perekam Medis dan Informasi Kesehatan (PMIK) kini berkembang dari sekadar administrator menjadi Data Quality Controller and FHIR Analyst. Tenaga medis umum juga perlu dibekali pemahaman klinis berbasis data, AI, dan informatika kesehatan. “Perubahan mindset dari paper-centric menuju digital-first adalah tantangan terbesar di sektor publik,” tutupnya.
Penulis dan Juru Foto: Fajar Budi Harsakti