Berita

/

Berita Terbaru

Belajar Mengelola Emosi & Menjadi Tim Kerja Sinergis di Kota Pahlawan

Pagi itu, Kota Surabaya belum sepenuhnya panas ketika para peserta pelatihan mulai memenuhi ruang kelas kecil tempat Pelatihan Teknis Membangun Kerja Sama Efektif digelar. Tidak ada seragam kebesaran, tidak pula suasana kaku khas birokrasi. Yang ada justru wajah-wajah lelah yang datang membawa cerita: target pekerjaan yang menumpuk, rapat lintas unit yang melelahkan, dan konflik kecil yang kerap membesar karena miskomunikasi.

Selama ini, banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) terbiasa bekerja cepat dan tepat. Namun, tidak semua terbiasa berhenti sejenak untuk memahami emosi, baik emosi diri sendiri maupun rekan kerja. Pelatihan yang berlangsung 7–13 Desember 2025 ini perlahan membuka ruang itu, ruang untuk belajar menjadi manusia sebelum menjadi pegawai. FKG UGM turut serta dalam forum ini, & memberangkatkan Bernadetha Laras Ayu Tholeta Suri sebagai delegasinya.

Ketika Emosi Tidak Lagi Disimpan Sendiri

Pada hari pertama materi, peserta diajak berbicara tentang sesuatu yang jarang disentuh dalam pelatihan teknis: perasaan. Sunarto, fasilitator pelatihan, tidak langsung membahas teori. Ia justru meminta peserta mengingat situasi terakhir ketika emosi mereka meledak di tempat kerja, marah karena kritik, kecewa karena kerja tidak dihargai, atau lelah karena beban tugas yang tak kunjung selesai.

“Emosi yang tidak dikelola tidak hilang. Ia hanya berpindah bentuk menjadi konflik, sinisme, atau kelelahan,” ujarnya.

Beberapa peserta terdiam. Ada yang tersenyum pahit. Ada pula yang baru menyadari bahwa selama ini mereka bekerja dalam tim, tetapi menyimpan beban sendirian. Dari situ, diskusi mengalir tentang kecerdasan emosi, empati, dan pentingnya menjaga stabilitas diri demi stabilitas tim.

Bukan Sekadar Kerja Bersama, Tapi Tumbuh Bersama

Hari berikutnya, pelatihan berlanjut pada keterampilan kolaborasi. Peserta dibagi dalam kelompok kecil, tanpa melihat jabatan atau unit kerja. Di sanalah sekat-sekat birokrasi mulai mencair. Seorang peserta mengaku baru menyadari bahwa selama ini ia selalu ingin menjadi “pengambil keputusan”, padahal tim juga membutuhkan pendengar yang baik.

Ana Susanti, fasilitator materi kolaborasi, menekankan bahwa kerja sama bukan soal siapa paling dominan, melainkan siapa paling sadar peran. “Dalam tim, tidak ada peran yang lebih tinggi. Yang ada adalah peran yang saling melengkapi,” katanya.

Diskusi tentang dinamika tim forming, storming, norming, performing membuat peserta memahami bahwa konflik bukan tanda kegagalan, melainkan bagian dari proses bertumbuh bersama.

Konflik Tidak Selalu Harus Menang atau Kalah

Bagi sebagian ASN, konflik sering kali dihindari. Takut merusak hubungan, takut dianggap tidak profesional. Namun, pelatihan manajemen konflik justru mengajak peserta menghadapi konflik dengan kepala dingin dan hati terbuka.

Dalam simulasi kasus, peserta belajar memilih: kapan harus berkompromi, kapan berkolaborasi, dan kapan menahan diri. Yang paling penting, mereka belajar mendengarkan bukan untuk membalas, tetapi untuk memahami.

“Konflik yang diselesaikan dengan baik justru menguatkan tim,” menjadi narasi yang berulang kali muncul dari diskusi kelas.

Dari Ruang Kelas ke Ruang Kerja

Pelatihan ini tidak berakhir pada sertifikat atau nilai evaluasi. Peserta diminta membawa pulang satu komitmen: mengubah cara bekerja di unit masing-masing. Ada yang memilih memulai sesi berbagi sederhana, ada yang menginisiasi koordinasi lintas bidang, ada pula yang berani meminta umpan balik dari rekan kerja.

Bagi sebagian peserta, langkah kecil itu tidak mudah. Namun, mereka menyadari bahwa kerja sama tidak dibangun lewat kebijakan besar semata, melainkan lewat percakapan jujur dan kebiasaan saling mendukung.

Kerja Sama sebagai Budaya, Bukan Agenda

Di akhir pelatihan, satu kalimat tertulis besar di layar: “Kerja sama budaya kita, bukan hanya pelatihan kita.” Kalimat itu terasa sederhana, tetapi menyentuh. Ia mengingatkan bahwa profesionalisme ASN bukan hanya tentang kompetensi dan target, melainkan juga tentang kemanusiaan.

Kota Surabaya menjadi saksi bahwa di balik sistem dan regulasi, ASN adalah manusia yang belajar, berubah, dan bertumbuh bersama. Dan dari ruang-ruang kelas kecil itulah, harapan akan birokrasi yang lebih kolaboratif perlahan menemukan jalannya. Jalan yang selaras untuk negeri..

(Koresponden: Bernadetha Laras Ayu Tholeta Suri, Redaktur: Andri Wicaksono)

Tags

Bagikan Berita

Berita Terkait
26 Desember 2025

FKG UGM Bina FKG UMY untuk Dirikan PPDGS Kedokteran Gigi Anak

24 Desember 2025

Bagi Residen Periodonsia UGM, Ujian Kompetensi Nasional Tak Lagi Menakutkan

23 Desember 2025

FKG UGM Matangkan Re-Akreditasi Program Studi Spesialis Penyakit Mulut Melalui Simulasi Borang

id_ID