Radiologi maksilofasial adalah bidang penting dalam diagnosis dan perencanaan bedah wajah dan rahang. Dengan kemajuan teknologi pencitraan (CT scan, CBCT, 3D imaging, navigasi, dan simulasi digital), para peneliti dan klinisi dapat memetakan anatomi kompleks maksila, mandibula, tulang wajah, dan struktur sekitarnya secara presisi.
Dalam konteks fraktur maksilofasial kompleks, penelitian dari mahasiswa FKG UGM Agung Hadi Wijanarko dengan bimbingan drg. Prihartiningsih, SU.,Sp.BM(K) tentang “Penatalaksanaan terpadu fraktur maksilofasial komplek dengan maloklusi dan malunion” menekankan pentingnya diagnosa dan perencanaan terpadu terhadap patah-patah yang sudah terlambat ditangani, yang sering membutuhkan koreksi maloklusi dan malunion. Riset radiologi berperan krusial dalam mendukung langkah‐langkah tersebut.
Peran Radiologi dalam Anatomi dan Fraktur Maksilofasial
1. Diagnostik dan pemetaan fraktur
- Modalitas seperti CT (Computed Tomography) dan CBCT (Cone Beam CT) memberikan gambaran tiga dimensi dari cedera tulang wajah, termasuk derajat dislokasi, fragmen tulang, keterlibatan sinus, dasar orbita, dan kontur anatomi.
- Gambar radiologi memungkinkan ahli bedah untuk menentukan jenis fraktur (misalnya Le Fort I, II, atau kombinasi), lokasi malunion atau maloklusi, serta pola kompleks yang tidak tampak pada radiografi konvensional.
2. Perencanaan bedah terintegrasi
- Data radiologi memungkinkan simulasi virtual rekonstruksi tulang dan koreksi posisi rahang.
- Dengan memetakan anatomi secara akurat, tim bedah dapat merencanakan osteotomi, refrakturasi, reposisi fragmen, dan fiksasi dalam satu tahap seperti yang dilakukan dalam penatalaksanaan terpadu fraktur maksilofasial kompleks di UGM.
- Radiologi membantu dalam menentukan lokasi optimal pemasangan plat, sekrup, dan titik anchorage untuk stabilisasi.
3. Evaluasi pascaoperatif dan monitoring penyembuhan
- Setelah operasi, pencitraan radiologi (CT, CBCT) digunakan untuk mengevaluasi posisi tulang, keselarasan rahang, dan penyatuan (osseous union).
- Dengan informasi radiologi, dapat dinilai apakah ada malunion residual atau kebutuhan koreksi lanjutan.
Hubungan dengan Penelitian UGM tentang Fraktur Maksilofasial Kompleks
Penelitian UGM tersebut menceritakan kasus fraktur maksilofasial kompleks (termasuk fraktur Le Fort II dan fraktur mandibula) yang terlambat ditangani sehingga menyebabkan maloklusi dan malunion. Penatalaksanaan dilakukan secara terpadu dalam satu tahap operasi meliputi osteotomi Le Fort I, refrakturasi, reposisi dan fiksasi. Hasil jangka enam bulan menunjukkan:
- Tidak terjadi infeksi atau penolakan terhadap perangkat fiksasi.
- Fungsi dan estetika pasien membaik secara progresif.
Keberhasilan tindakan terpadu tersebut bergantung secara besar pada data anatomi tulang wajah yang akurat—data yang diperoleh melalui pencitraan radiologi maksimal.
Tantangan & Arah Penelitian Radiologi Maksilofasial
Beberapa tantangan dan peluang riset di bidang radiologi maksilofasial meliputi:
- Resolusi tinggi dan artefak logam: Implan, plat, dan bahan fiksasi sering memunculkan artefak pada CT/CBCT; penelitian diarahkan ke algoritma reduksi artefak dan imaging berbasis sinar photon atau dual-energy.
- Integrasi AI dan segmentasi otomatis: Pengembangan algoritma kecerdasan buatan untuk mendeteksi fraktur, memisahkan fragmen tulang, dan memprediksi rencana bedah optimal.
- Navigasi intraoperatif berbasis citra: Menggabungkan pencitraan real-time (misalnya CBCT intraoperatif) dengan navigasi bedah agar posisi fragmen dan perangkat fiksasi lebih tepat.
- Pencitraan perfusi dan vaskularisasi: Menilai suplai darah ke fragmen tulang agar healing lebih baik — aspek ini penting ketika fragmen tulang besar atau cedera jaringan lunak menyertainya.
- Pengurangan dosis radiasi: Menyesuaikan protokol radiologi maksimal agar pasien tidak terpapar radiasi berlebih, sambil mempertahankan kualitas citra diagnostik tinggi.
***
Riset radiologi dengan fokus pada anatomi maksilofasial adalah pondasi kritis bagi diagnosis, perencanaan, dan evaluasi bedah wajah dan rahang, terutama dalam kasus fraktur kompleks. Penelitian menunjukkan bagaimana pemetaan anatomi tulang wajah yang tepat mendukung intervensi bedah menyeluruh dan terpadu. Dengan kemajuan teknologi radiologi (CT, CBCT, AI, navigasi), riset di bidang ini terus membuka potensi untuk bedah maksilofasial yang lebih tepat, aman, dan personalisasi.
Referensi
WIJANARKO, Agung Hadi, drg. Prihartiningsih, SU.,Sp.BM(K), Penatalaksanaan terpadu fraktur maksilofasial komplek dengan maloklusi dan malunion, https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/36727
Penulis: Rizky B. Hendrawan | Foto: Freepik