Berita

/

Berita Terbaru

Kurangi Limbah Laboratorium, Tim FKG UGM Kembangkan Model Incisi Abses dari Sarung Tangan Bekas

Penggunaan bahan sintetis di laboratorium pendidikan sering kali meninggalkan limbah non-klinis yang sulit dikelola dan membutuhkan biaya besar untuk pengadaan. Di sisi lain, mahasiswa kedokteran gigi membutuhkan alat bantu belajar yang realistis agar dapat memahami prosedur klinis dengan baik. Tantangan inilah yang mendorong tim Hibah PKPLP Learning Center Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM, yang dipimpin oleh Beti Indrawati, AMTG, Pranata Laboratorium Pendidikan FKG UGM, untuk menghadirkan solusi kreatif dan berkelanjutan.

Berawal dari kesulitan mencari bahan yang menyerupai jaringan lunak abses, Beti dan tim mengembangkan model incisi abses dari sarung tangan bekas praktikum. Sebelumnya, laboratorium menggunakan bahan malam merah yang mudah pecah, keras, dan tidak elastis. “Malam merah itu terlalu kaku dan cepat rusak. Kami ingin bahan yang lebih lentur, realistis, tapi juga memanfaatkan limbah yang ada di laboratorium,” jelas Beti (2/11).

Proses pembuatan model dilakukan melalui serangkaian langkah sederhana namun higienis. Sarung tangan bekas terlebih dahulu dicuci dan disterilkan dengan larutan klorin 30 persen selama 30 menit dengan perbandingan 1 ml klorin dan 900 ml air. Setelah direndam, sarung tangan dikeringkan menggunakan hair dryer, kemudian dipotong bagian ujungnya, diisi sampo, dan diikat membentuk bulatan untuk menghasilkan tekstur lembut seperti abses berisi cairan. “Sampo berfungsi untuk memberikan sensasi cairan di dalamnya, jadi ketika diinsisi, rasanya mirip seperti prosedur nyata,” ujarnya.

Model hasil inovasi ini telah digunakan oleh mahasiswa kedokteran gigi, peserta OSCE, hingga program profesi dokter gigi di Departemen Bedah Mulut Maksilofasial FKG UGM untuk latihan keterampilan klinis. Dengan bahan sederhana, model ini lebih ekonomis, ramah lingkungan, dan bisa digunakan berulang kali. “Kami ingin membuktikan bahwa inovasi tidak harus mahal. Dari bahan bekas pun bisa menghasilkan alat edukatif yang bermanfaat,” tambah Beti.

Tidak berhenti di situ, tim kini sedang mengembangkan versi lanjutan model incisi abses berbasis teknologi 3D printing. Bagian dasar model yang semula dibuat dari gips akan diganti dengan bahan filamen, yang lebih kuat dan tahan lama. “Kalau model yang 3D printing ini tidak akan hancur. Jadi efisien karena bisa dipakai berulang tanpa perlu membuat ulang,” jelasnya.

Melalui inovasi ini, Beti dan tim tidak hanya mengoptimalkan proses pembelajaran, tetapi juga turut berkontribusi dalam pengurangan limbah laboratorium dan penguatan riset tenaga kependidikan di lingkungan FKG UGM. Tim juga telah menyusun Prosedur Operasional Standar (POS) untuk replikasi model dan menyiapkan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) agar inovasi ini dapat digunakan secara luas di berbagai institusi pendidikan kedokteran gigi di Indonesia.

“Kami berharap karya dari laboratorium ini bisa menginspirasi tenaga kependidikan lain untuk berinovasi. Inovasi tidak harus kompleks atau mahal, yang penting berdampak bagi pembelajaran dan lingkungan,” pungkas Beti.

Penulis: Fajar Budi Harsakti | Foto: Beti Indrawati

Tags

Bagikan Berita

Berita Terkait
8 Desember 2025

Hubungan Kanker Mulut dengan Kebiasaan Merokok

7 Desember 2025

Teknik Perawatan Scaling dan Root Planing Modern

6 Desember 2025

Orthodontic Miniscrews: Keamanan dan Efektivitas

id_ID